Minggu, 15 Maret 2015

Sains, Agama dan Stephen Hawking

Baru-baru saja ada berita kalau Stephen Hawking, salah seorang fisikawan besar, mengatakan kalau fisika modern telah mencapai sebuah titik dimana kita tidak perlu lagi adanya Tuhan untuk memahami alam semesta sekitar kita.
Seperti kata Paijo, kalau kita tidak perlu lagi memakai radio panggil untuk komunikasi, bukan berarti radio panggil itu tidak ada. Tapi beberapa orang religius merasa hal itu berarti kalau itu berarti pernyataan kalau Tuhan tidak ada. Sedemikian hingga mereka memberikan komentar-komentar  memprotes.
FaktaIlmiah.com juga tergelitik untuk membahasnya. So inilah bahasan kami berdasarkan transkrip hasil debat yang bisa anda akses disini:
Stephen Hawking
Pertama yang harus diperhatikan disini adalah, siapa sih Tuhan? Tanpa jelas apa itu Tuhan, maka kita membicarakan sesuatu yang bisa saja berbeda. Sebagai contoh, Paijo mengatakan kalau kita ia tinggal di Bandung. Temannya, Poniran,  memprotes karena ia tidak tinggal di Bandung. Tapi jelas Paijo benar, karena yang dimaksud Bandung oleh Paijo adalah rumah kapal di sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Di sana rumah kapal disebut Bandung. Poniran juga benar, karena apa yang ia maksud adalah kota Bandung, ibu kota Jawa Barat. Tapi keduanya bertengkar karena semata berbeda pengertian dari kata Bandung.
Begitu juga, Tuhan yang dibicarakan oleh Hawking berbeda dengan Tuhan yang dibicarakan oleh pemuka agama Islam, kristen, yahudi, dsb. Bagi Hawking, ia menyindir Tuhan yang dipakai sebagai penjealasan atas fenomena alam. Baginya Tuhan hanyalah sebuah alat penjelasan sementara. Anda tidak tahu petir, katakan itu amarah Tuhan. Anda tidak tahu tsunami, katakan itu cobaan Tuhan. Tuhan disini adalah pengisi kekosongan sementara. Apa yang disebut orang sebagai God of the Gap. Dan pernyataan Hawking adalah bahwa fisika sudah cukup maju sehingga Tuhan tidak muat lagi untuk diselipkan dalam bolongan-bolongan dalam kotak fenomena alam yang belum terjawab.
Di sisi lain, para pemuka agama, memiliki perbedaan konsep mengenai Tuhan. Agama kristen, jelas punya Tuhan yang berbeda dengan Agama Islam. Belum lagi Agama Yahudi dan agama lainnya yang memiliki Tuhannya sendiri-sendiri. Bagi mereka, Tuhan bukanlah alat, tapi tuhan adalah udara. Syarat utama untuk hidup, syarat untuk bernapas.
Bila anda belum mengerti perbedaan antara Tuhan yang dimaksud Hawking dengan Tuhan yang dimaksud para ulama, saya bisa menawarkan analogi disket dan Komputer. Tuhan bagi Hawking adalah disket. Buat apa disket lagi sekarang kalau kita sudah punya flash disk atau hard disk eksternal atau CD Writer yang kapasitasnya jauh lebih hebat. Lagian disket sering terjangkiti dengan virus. Sementara bagi ulama, Tuhan adalah komputer. Tanpa komputer, orang tidak akan terpikir menciptakan disket, flash disk atau hardisk eksternal.
Tapi ada kesamaan antara disket dan komputer. Keduanya sama-sama alat elektronik. Sama halnya dengan Tuhannya Hawking dan Tuhannya orang beragama, sama-sama dipandang sebagai pencipta Alam Semesta.
Richard Dawkins
Sekarang, bayangkan di atmosfer kita ada sebuah debu berwarna merah. Ada tak terhitung debu di atmosfer kita. Sekarang bila kita tidak menemukan debu demikian, apakah itu berarti debu tersebut tidak ada? Bisa saja kita kurang teliti mencarinya, bisa saja kita hanya memakai sampel, bukannya populasi, untuk membuat kesimpulan tersebut.  Tapi bila memang seseorang entah bagaimana berhasil menyapu bersih semua debu di atmosfer dan mengumpulkannya, melihatnya satu-satu dan tidak menemukan debu berwarna merah. Ini adalah bukti nyata kalau debu tersebut tidak ada.
Ini kembali ke pernyataan di awal paragraf : Bayangkan ada debu berwarna merah di atmosfer. Ini kontradiktif dengan kalimat terakhir yang mengatakan debu tersebut tidak ada. Bagi ilmuan, kalimat pertama di atas adalah sebuah hipotesis. Sebuah dugaan semata dan bisa dihapus oleh kalimat terakhir. Bagi orang religius, kalimat pertama adalah fakta. Kalimat terakhir tidak dapat diterima karena kontradiktif dengan kalimat pertama. Ini perbedaan antara agama dan Sains.
Sekarang sains sedang berusaha menyapu bersih semua debu di atmosfer. Sains memiliki sebuah tujuan, memahami dunia kita. Di bidang fisika, sebagai ilmu yang mempelajari realitas, maka ini berarti menemukan sebuah teori gabungan. Sebuah teori puncak. Sebuah sapu bersih terhadap debu di atmosfer analogis kita. Bila sains menemukan teori puncak ini apakah agama akan menerima seandainya sains membuktikan tuhan tidak ada? Ataukah agama akan terus hidup dalam penafsiran celah-celah kecil sekecil virus dalam teori segalanya?
Agama selama ini berusaha mendapatkan dukungan sains. Tentang terbelahnya laut merah, lapisan bumi, lapisan atmosfer, embriologi manusia, terbelahnya bulan, dsb. Walaupun telah dibantah oleh sains kalau itu salah. Tetap saja tafsiran-tafsiran baru bermunculan. Di sisi lain, sains masih banyak punya misteri untuk dipecahkan. Dan disinilah agama menyusup. Bisakah sains meramalkan kematian? Bisakah sains menjelaskan tentang ini, tentang itu. Celah ini jelas semakin lama semakin sempit.
Dua milenium lalu sains tidak mampu menjelaskan kenapa seseorang bisa sakit, sekarang berbagai jenis anti virus serta segala jenis antibiotik mencegah kita terkena infeksi kuman. Dua milenium lalu, agama menawarkan penjelasannya. Orang sakit karena kutukan, karena dosa, karena durhaka, karena cobaan tuhan, dsb. Bahkan sekarang masih ada orang yang mengatakan kalau gempa disebabkan dosa.
Demikianlah, agama seperti orang yang tidak punya harapan lagi, dan mengambil remah-remah dari sains yang semakin gemuk. Mereka mengambil sedikit ruangan kosong di halaman istana sains yang megah. Saat sang tuan rumah keluar, penghuni halaman istana ini menunjuk mengatakan kalau, hei lihat bajunya itu buatan kakek dari kakek ku dari kakekku, atau hei, gorden istananya itu buatan sepupu jauh saya.

0 komentar:

Posting Komentar