Makin jauh kita masuk pada rahasia alam, makin besar pula kekaguman dan penghormatan kita pada Tuhan

Fisika adalah ilmu yang berupaya secara ilmiah menelaah gejala alam mulai dari skala mikro (partikel elementer) hingga skala makro (jagad raya), serta mulai dari kelajuan rendah hingga kelajuan maksimum

warna-warna terjadi karena superimposition perbedaan bentuk gambar dalam latar belakang gelap.

Jika gambar kemudian menembus di dalam, cahaya diperkuat lagi dan memproduksi sebuah warna kuning bercahaya. Selanjutnya mencampur gambar yang dikurangi dan kemudian sebuah warna gelap dan merah gelap sampai hilang ketika matahari berada di luar kerucut pembiasan sinar setelh satu kali pemantulan

perjalanan cahaya dalam garis lurus dan menjelaskan hukum refleksi

Pelangi itu menduga sebagai akibat refleksi dan refraksi cahaya matahari oleh lapisan dalam 'awan berair' tapi pengaruh tetesan individu tidak dianggap

lensa adalah bagian dari mata yang pertama kali merasakan penglihatan.”

Penggunaan hiperbola dan geometri optik ke grafik dan merumuskan dasar hukum pada refleksi/penyebaran, dan dalam atmospheric dan pembiasan sinar cahaya. Spekulasi dalam bidang electromagnetic cahaya, yakni mengenai kecepatan, dan perambatan garis lurus merupakan pembentukan sebuah gambar dalam kamera obscura saat gerhana matahari (prinsip dari kamera pinhole).”

wilayah kornea mata adalah lengkung dan dekat dengan conjunctiva/penghubung, tetapi kornea mata tidak bergabung dengan conjunctiva

Permukaan dalam kornea pada titik di mana ia bergabung dengan foramen mata menjadi cekung sesuai dengan lengkungan dari permukaan luar. Tepi-tepi permukaan foramen dan bagian tengah daerah kornea menjadi bahkan namun tidak satu.

Minggu, 15 Maret 2015

Laut yang Terbelah


Dalam mitologi Yahudi – Kristen – Islam terdapat sebuah peristiwa besar dimana Musa membelah Laut Merah dengan sebatang tongkat lalu mengajak pengikutnya menyeberangi lautan yang terbelah. Peristiwa ini, bila memang terjadi, merupakan titik balik penting dalam sejarah yang membawa pada kemunculan tiga agama ini sebagai agama paling dominan di masa kini. Lupakan kemungkinan membelah laut dengan tongkat, karena sudah jelas ini mustahil. Sekarang yang jadi pertanyaan, apakah mungkin Laut Merah terbelah di masa lalu sehingga Bani Israil dapat menyeberang? Perlu di ingat, kalau sesuatu itu mungkin, belum tentu ia benar terjadi. Ambil contoh pernyataan “Ada burung terbang di atas kepala saya tadi siang jam 14.” Pernyataan ini mungkin. Tidak mustahil kalau burung bisa lewat di atas kepala saya. Tapi faktanya ia tidak terjadi, saya semata berbohong karena tadi siang jam 14 tidak ada burung yang lewat di atas kepala saya. Hal ini terdengar sederhana, tapi saat tiba pada masalah religius, sebagian orang melewati pertimbangan ini. Bagi mereka bila itu mungkin, ia benar-benar terjadi. Ini bukanlah hal yang ilmiah tentunya.
Sekarang kita kembali ke masalah terbelahnya Laut Merah tadi. Mungkinkah sebuah lautan demikian besar bisa terbelah secara alami?
Skema fenomena terbelahnya laut sebelum gempa Kanto, Jepang
Fenomena terbelahnya laut di Golcuk, Turki
Pertama-tama, mari kita lihat ke catatan sejarah.  Mari kita lihat ke mitologi dahulu.  Kisah pembelahan Laut Merah oleh Musa ternyata memiliki kemiripan dengan kisah yang lebih tua lagi, yaitu kisah pembelahan jasad Tiamat oleh Marduk, penaklukkan Yam oleh Baal dan penghancuran kepala monster laut Rahab dan Leviathan. Tiga kisah ini mengawali berdirinya dunia material dalam mitologi Timur Tengah (Mesopotamia dan Kanaan). Kisah pembelahan Laut oleh Musa dan kisah pembelahan Sungai Yordan oleh Joshua juga mengawali berdirinya negara Israel. Jika tiga kisah sebelumnya sudah jelas merupakan mitos, apakah kisah pembelahan laut dan sungai ini juga bisa dikatakan mitos?
Sebuah kemiripan mitologi belum cukup memang. Bisa saja kisahnya benar terjadi.  Kita perlu penjelasan ilmiah. Sayangnya penjelasan ini sulit dilakukan karena naskah kuno yang menggambarkan kejadian pembelahan laut oleh Musa tampak kontradiktif. Ada dua versi pembelahan laut. Pertama, versi yang mengatakan Tuhan memundurkan arah air kembali ke belakang dalam satu malam dengan angin yang kuat, sehingga sebuah jalan di dasar laut terbuka dan bisa dilewati [1] lalu melemparkan pasukan Mesir ke laut.[2] Di versi kedua yang lebih baru, Tuhan menyuruh Musa merentangkan tangannya di depan Laut Merah sehingga air segera terbelah dan membentuk dinding di tiap sisi Bani Israil.[3] Musa kemudian kembali merentangkan tangannya saat Bani Israil telah aman, dan Laut Merah kembali menutup menelan pasukan Mesir yang mengejar.[4] Versi ketiga bisa ditambahkan dari Islam, dimana Musa tidak merentangkan tangan, tapi memukulkan tongkatnya.  Jadi mana yang benar? Sebuah penjelasan ilmiah seharusnya membedakan antara tiga versi ini dan melihat mana yang paling mungkin terjadi. Tentu saja, dari ketiga versi ini, semua setuju kalau Laut Merah terbelah. Pikiran rasional yang ilmiah tentu saja memilih angin yang kuat ketimbang gerakan tangan atau pukulan tongkat.
Menariknya, sebuah fenomena yang mirip pernah dilaporkan dalam penelitian Ikeya et al (2002) di Teluk Izmit. Saat tim peneliti fenomena pra gempa bumi ini mengumpulkan data kejadian sebelum gempa Izmit tahun 1999, mereka mendapatkan kesaksian dari seorang nelayan kalau laut terbelah sebelum gempa terjadi. Lokasi pembelahan ini adalah di tempat celah Anatolian Utara yang melebar. Hasil penelitian tim peneliti Jepang ini menyimpulkan kalau kejadian ini disebabkan oleh aliran keluar yang besar saat celah lempengan membuka. Hilangnya air oleh dilatansi pra gempa dibuktikan oleh adanya fisura dan breccia di zona retakan selain aliran horizontal masuk dari kedua sisi zona. Aliran masuk diblok dalam sebuah saluran dangkal dan sempit di Tanjung Goelcuek. Tim Ikeya bahkan berhasil merekonstruksi kejadian ini di laboratorium hidrodinamika. Lebih jauh, mereka menduga kalau hal ini pula yang menjelaskan peristiwa terputusnya teluk dan terhalangnya aliran masuk dari Laut Terbuka oleh gundukan Pasir bawah laut dalam peristiwa Gempa besar Kanto, tahun 1923.
Dari kasus yang mirip ini, bisa jadi pula kalau kasus Musa juga merupakan kasus alamiah sebelum atau saat gempa bumi terjadi di Laut Tengah. Tapi kedua kasus modern ini berskala kecil. Daerah yang terbelah di Turki maupun di Jepang adalah teluk dan selat, bukannya Laut seperti dalam kisah Musa.
Penjelasan lain datang dari Naum Volzinger. Volzinger mengatakan kalau ada angin kuat berkecepatan 30 meter per detik di atas terumbu karang, maka tiupannya akan mampu membuat kompleks terumbu karang ini kering. Dan Laut Merah memang daerah yang kaya dengan terumbu karang. Di zamannya Musa, terumbu karang lebih banyak lagi dan lebih dangkal daripada sekarang. Lebih lanjut lagi, Volzinger mengatakan kalau perlu waktu empat jam bagi Bani Israil untuk menyeberang sebelum laut kembali menutup.
Tentu teori ini menarik bila saja memang teks kuno mengatakan kalau para pengungsi Bani Israil berjalan di atas terumbu karang aneka warna. Hal ini tentu lebih dramatis dan mencolok daripada semata berjalan di atas gundukan pasir dasar laut atau batuan kering hitam membosankan.
Volzinger adalah seorang oseanografer yang cukup paham mengenai perilaku air laut. Kesimpulan ini diperolehnya setelah meneliti kondisi terumbu karang yang ada di bagian utara Teluk Suez, dimana sebagian sejarawan percaya kalau inilah lokasi dimana Musa membelah Laut Merah.
Tentu saja, hal ini akan membuat keadaan menjadi lebih mungkin. Daerah sebelah utara Teluk Suez adalah teluk yang lebih sempit lagi. Jadi, walaupun narasinya membelah Laut Merah, tapi sebenarnya yang terbelah adalah teluk kecil. Dan ini juga membawa teori pertama dari para ahli gempa Jepang bisa menjadi pendukung.
Sayang memang, dari dua teori yang diajukan di atas, tidak ada cerita gempa ataupun cerita tentang terumbu karang eksotis di naskah kuno.  Walau tidak ada ceritanya di taurat, injil ataupun Quran, ada catatan sejarah mengenai peristiwa tektonis di daerah ini. Sebuah gempa bisa saja terjadi saat terjadi letusan gunung berapi yang berada di sepanjang celah Aegean, asal gempa ini dapat menyebar hingga ke Mesir. Gempa menyebabkan air laut tertarik sementara lalu kembali tertutup oleh tsunami setinggi 30 meter.  Hipotesis letusan gunung berapi ini didukung cerita injil kalau terjadi badai debu yang menghalangi tentara Mesir yang mengejar Musa saat masih berada di daratan.
Teori letusan gunung terlihat cukup masuk akal. Sayangnya, proses tertariknya air laut sebelum terjadi tsunami dapat membuka dasar laut bila ia berada di pantai. Dengan kata lain, jalan yang terbuka bukanlah sebuah jalan yang diapit dua dinding air, tapi satu dinding air di arah laut dan pantai di arah daratan. Anda mungkin bisa melihat bagaimana orang di pantai segera berlari begitu melihat batas air laut di pantai mendadak tertarik jauh ke arah laut sebelum tsunami raksasa menerjang beberapa saat kemudian.
Jadi kita tidak punya teori yang cukup ilmiah untuk menjelaskan pembelahan Laut Merah, jika memang ia pernah terbelah. Mungkin sumber independen harus digunakan untuk memeriksa apakah memang Laut Merah pernah terbelah, lebih dari sekedar apa yang ditulis di Taurat, Injil dan Quran. Mengesankannya, tidak ada naskah historis demikian selain di kitab-kitab tersebut. Sumber independen yang paling kredibel untuk memeriksa silang klaim ini seharusnya adalah hieroglif Mesir karena Mesir adalah lokasi kejadiannya. Ternyata tidak ada kecuali satu stelae di Museum Kairo dari zaman Firaun Meremptah, penerus Firaun Ramses.
Tidak ada bukti kalau Musa ada, tapi ada bukti kalau ada ajaran monoteisme yang muncul berkembang di masa Ramses II. Ajaran monoteisme ini menyembah Matahari yang dipersonifikasikan sebagai Aten. Ajaran Aten diciptakan 50 tahun sebelum klaim kejadian pembelahan laut Merah oleh Musa, yaitu sekitar 1350 SM. Pendiri ajaran ini adalah Akhnaten yang kemudian menjadi ajaran yang tersembunyi dan disebarkan secara rahasia pada masa pemerintahan Ramses II. Ramses sendiri punya 100 putra.[5] Ada hieroglif dari salah satu putranya, Amerhed Kappusheff, yang menjadi firaun setelah sang Ramses menyatakan dirinya sebagai Tuhan. Dengan kata lain, Ramses bukan Tuhan merangkap Firaun, ia Tuhan saja, anaknya yang menjadi Firaun. Tengkorak sang anak ini memiliki tanda retakan bekas jatuh.
Mungkin Musa adalah salah satu anak Ramses yang memberontak.  Musa menyembah Aten dan karenanya harus melarikan diri dari ibu kota agar selamat bersama dengan pengikutnya yang berjumlah sekitar beberapa ratus orang dan bersenjata lengkap. Lebih masuk akal kalau mereka menerobos masuk ke rawa-rawa di daerah pesisir Laut Merah dan dikejar oleh Amerhed. Terjadi peperangan di daerah ini dimana Amerheed jatuh dari keretanya tepat di kepala dan meninggal.
Jadi, saat kita mencoba melihat pada fakta sejarah Mesir, yang ada adalah tokoh Musa sebagai seorang penyembah Dewa Matahari, yang mungkin kemudian bermutasi menjadi Tuhan Alam Semesta yang disembah Yahudi, Kristen dan Islam. Petunjuk bahwa Musa menyembah Dewa Matahari juga terlihat dari beberapa kali mukjizat Musa menampilkan api sebagai unsur utama di kitab Yahudi-Kristen-Islam.
Simulasi di laboratorium Jepang
Lebih jauh lagi, tidak ada bukti kalau peristiwa eksodus pernah terjadi. Tidak ada bukti arkeologis kalau pernah ada peristiwa hijrah ratusan ribu orang di Gurun Sinai pada masa lalu Mesir. Secara logistik saja hal ini sudah mustahil, apalagi ternyata tulisan tertua Perjanjian Lama dibuat paling lama pada abad ke-7 SM sementara peristiwa pelarian Bani Israil diperkirakan terjadi lima ratus hingga enam ratus tahun sebelumnya. Kisah Musa tak lain adalah pembesar-besaran peristiwa kaburnya salah seorang penganut monoteisme dari keluarga kerajaan bersama para pengawalnya yang kemudian berhasil membunuh sang raja di sebuah rawa-rawa.  Sekedar fakta, lebar rata-rata Laut Merah adalah 280 km, dan bagian paling kecilnya adalah 26-29 km, itupun di daerah selat Bab el Mandeb di Yaman. Kedalamannya rata-rata 490 meter dengan daerah terdalam mencapai 2500 meter.
Kisah ini mungkin tercampur dengan kisah pengalaman Yahudi selama dalam penangkapan oleh Babilonia, lalu diceritakan secara turun temurun secara lisan selama ratusan tahun.
Addendum, 22 september 2010. Carl Drews dan Weiqing Han mengajukan sebuah model fisika yang mampu menunjukkan peristiwa tersebut di PLoS ONE. Dalam perhitungan mereka, angin berkecepatan 28 m/s detik dapat mengungkap sebuah cekungan di muara sungai Nil membentuk jembatan kering sepanjang 3-4 km dan lebar 5 meter selama 4 jam. Model ini memakai angin yang memiliki kecepatan konstan selama 12 jam. Masalah dalam laporan penelitian ini adalah lokasi peristiwa tersebut tidak berada di Laut sama sekali, kecuali jika anda mengira kalau daratan yang terpisah oleh badan air selebar 4 km adalah laut. Kaum religius sayangnya tidak dapat memakai hal ini sebagai pendukung karena di Kitab Suci jelas tertulis Laut. Ambil contoh di Quran, kata Laut (Bahri) yang digunakan, bukannya Sungai (anhar). Di Injil juga dipakai kata Laut, tidak peduli ia Laut Merah (Red Sea) atau Laut Buluh (Reed Sea)
Simulasi Angin yang dibuat Carl Drews dan Weiqing Han.
Referensi
  1. Fields, H. 2003. Digging out the truth of Exodus.
  2. Forbes, A. 2009. Santorini. Cochise College
  3. Ikeya M,   Satoh H,   Ulusoy U, dan   Kimura R. 2002. Split sea and walls of water: Moses’ phenomenon at the Izmit earthquake, Turkey. Proc Jpn Acad Ser B. Vol.78b;No.2;Page.24-29(2002)
  4. Stolyarova, G. 2002. City Scientists Say Red-Sea Miracle Can Be Explained.
  5. Voltzinger, N. E.  dan Androsov, A.A. 2002. Modeling the Hydrodynamic Situation of the Exodus. Russian Academy of Sciences.
  6. Wildish, B.M. 2002. Parting Seas, Magic Stars, and Miracles: Can Science Explain Events in the Bible? Skeptic, Vol. 9, Number 4, 2002
  7. Drews C, Han W (2010) Dynamics of Wind Setdown at Suez and the Eastern Nile Delta. PLoS ONE 5(8): e12481.

Apakah Bulan Pernah Terbelah?


Bulan pernah terbelah. Yup. Seorang teman saya mengatakan ke Saya kalau dia punya bukti bulan pernah terbelah. Saya skeptik waktu itu. Beliau mengatakan profesor geologi bernama Prof. Dr. Zaghlul Al-Najar menemukannya dan ia menunjukkan fotonya. Ini fotonya
Nah, sebagai pemikir kritis, apa yang pertama anda lakukan?
Pertama, meminta klarifikasi dengan memberikan pertanyaan.
Kedua, memeriksa bukti.
Ketiga, memeriksa kesesuaian bukti yang diberikan dengan pengetahuan sebelumnya.
Keempat, memeriksa kredibilitas sumber bukti.
Kelima, melakukan pengamatan sendiri.
Keenam, melakukan induksi dan deduksi.
Ketujuh, membuat dan menilai kesimpulan.
Kedelapan, menemukan definisi.
Kesembilan, menemukan asumsi.
Kesepuluh, menemukan alternatif ketiga dan seterusnya.
Kesebelas, menetapkan posisi.
Karakteristik di atas adalah langkah umum berpikir kritis. Banyak ahli berpendapat berbeda mengenai langkah apa, tapi ini adalah yang umum di kalangan ilmiah. Sumbernya dari pakar berpikir kritis bernama Ennis.
Sekarang kita terapkan pada kasus klaim bulan pernah terbelah.
  1. Mengajukan pertanyaan.
Pertanyaan yang langsung muncul begitu klaim ini diajukan ke saya adalah apa buktinya? Dan beliau memberikan sebuah foto dan sebuah nama. Oke, ada yang lain? Penemuan rilles oleh NASA pada tahun 1970. Sip. Sekarang langkah kedua.
Peta kontur rima yang ada di bulan
  1. Memeriksa bukti.
Foto bulan pernah terbelah seperti di atas merupakan satu saja dari sekian banyak foto bulan. Sekarang apakah foto tersebut menunjukkan benda pernah terbelah? Bila anda memiliki sebuah benda bulat, terbelah dua, lalu disatukan kembali, apa tampilan morfologi yang akan tampak jelas pada benda tersebut? dia akan memiliki celah yang dalam dan menghubungkan satu celah dengan celah bekas bukaan lainnya yang ada di sebelah belakangnya. Adakah bukti ini diberikan selain foto di atas? Nope.
Kemudian tentang sumber klaim, sang profesor. Itu nanti saja di bagian lain membahasnya. Dan terakhir foto penemuan rilles tahun 1970 oleh Asosiasi Geofisika Amerika. Dari tahunnya kedengaran sangat kuno. Orang sudah maju sekarang dalam astronomi. Saat itu asal usul rilles tidak diketahui orang, sekarang kita sudah banyak tahu. Let me tell you.
  1. Pengetahuan yang telah ada
Rille adalah sebuah lembah panjang dipermukaan bulan. Ada banyak rille. Rille Hadley, berupa lembah yang panjangnya 125 km, dalamnya 400 m dan lebarnya hampir 1500 m di daerah terlebarnya. Ia terbentuk dari lava basaltik cair yang mengikis permukaan bulan sepanjang basis Apennine Front (yang dijelajahi oleh para astronot Apollo 15 tahun 1971)
Rima Hadley dilihat dari dekat
Rima Hadley yang panjangnya 120 km
Rima Fresnel 1 di Pegunungan Apennine Bulan
Detil permukaan Mare Serenitatis Apollo 17
Gagasan kalau rille adalah bekas terbelahnya bulan tidak ditemukan dalam pendapat ilmuan. Hipotesis yang ada pada saat ditemukannya rille adalah ia merupakan retakan di permukaan bulan. William Pickering berpendapat kalau itu adalah aliran air. Dan akhirnya, para ilmuan berdebat dan dukungan bukti terkuat yang menjadi teori standar sekarang adalah bahwa rille merupakan bekas aliran lava di sepanjang permukaan atau di bawah tanah bulan (tabung lava) yang kemudian runtuh dan terlihat dari permukaan.
Rille di Lembah Schroeter lebih besar dan lebih panjang dari rille apapun yang ada di bumi. Hal ini karena permukaan bumi memiliki atmosfer sehingga lava yang mengalir di permukaan bumi tetap mempertahankan panasnya. Atmosfer bersifat isolator. Di bulan, tidak ada atmosfer. Panas dapat dengan sangat mudah lepas. Di bumi, saat lava mengalir dalam jarak yang panjang (beberapa puluh kilometer), pendinginan di permukaannya menyebabkan “atap” terbentuk. Akibatnya bagian cair hanya mengalir di bawahnya dan membentuk tabung lava. Dan ini mengapa tabung lava dapat mencapai panjang yang lebih jauh lagi daripada di permukaan bumi.
Gambar berikut menunjukkan tabung lava terpanjang di bumi, yang berada di Barker’s Cave Australia. Panjangnya 35 km dan tingginya 35 meter. Alasan kenapa ia bisa sepanjang ini adalah adanya kerak isolasi yang terbentuk di permukaannya, sehingga lava dibawahnya mampu mempertahankan panas dan terus mengalir di bawah permukaan. Tidak ada peristiwa demikian terjadi di Lembah Schroeter: Mustahil mempeertahankan atap batuan selebar 1 kilometer, dan tidak ada bukti keruntuhan atap.
Tabung lava di Goa Barker Australia
Dalam penelitian Strain dan El Baz (1976), lima rille sinus di dataran basal daerah pegunugan Harbinger bulan dipelajari. Data topografi lengkapnya dibuat dan mereka mempelajari secara detil rille yang ada. Panjang rille mulai dari 12 hingga 79 km dan lebarnya dari 0.8 hingga 4.8 km.Kedalamannya beragam dari 100 hingga 300 meter dan rille tampak semakin dangkal ke utara. Ujung selatan rille dicirikan oleh depresi dari sirkular hingga menanjak yang terjadi pada sebuah kubah berdiamater 30 km yang mungkin berasal dari letusan gunung berapi bulan. Studi mereka menemukan kalau kemiringan adalah faktor yang menentukan arah rille, bukannya pola struktur regional. Data topografis mendukung teori kalau rille terbentuk dari saluran atau tabung lava.
Beberapa bentuk rima yang berseliweran di permukaan bulan (Credit : NASA)
Perlu diperhatikan kalau rilles biasanya ditemukan di maria (dataran gelap bulan). Ia hanya ada di daerah yang tidak turun naik, dan bentuk rilles seperti ular. Persis seperti sungai yang ada di bumi, dan ini mengapa pada awalnya ilmuan mengira kalau rille adalah sungai purba di bulan. Walau begitu, sampel batuan yang dibawa ke Bumi menunjukkan tidak adanya air dan studi-studi setelah Strain dan El-Baz (1976) menunjukkan kalau ia aliran lava.
Rilles lain yang sangat banyak ditemukan di kompleks Marius Hills di Oceanus Procellarum. Kompleks ini terbangun lebih dari 50 gunung berapi. Keberadaan rille yang sangat banyak di sekitar gunung berapi ini, sekali lagi, mendukung teori kalau rille berasal dari aliran lava. Lebih jauh lagi, ilmuan sudah menentukan kapan ini terjadi. Aliran lava yang membentuk rille terjadi 3 hingga 4 miliar tahun lalu.
Dinding rille di Lembah Schroeter juga miring dan dalam. Sekarang kemana lavanya? Sebuah saluran air bisa membuat air terserap ke dalam tanah atau menguap ke luar angkasa. Namun lava yang mengalir memakan materi permukaan tentunya ada. Namun, yang ada di bulan, semata saluran seperti ular yang terus berkelok hingga akhirnya lenyap begitu saja. Dan perlu di ingat, kalau rille tidak menciptakan maria tempat ia berada. Ia memotong maria yang sudah ada. Materi yang pernah berada di saluran ini semata lenyap begitu saja.
Tampaknya, hanya sebagian saja rille yang ada di bulan dihasilkan dari formasi saluran lava. Ada tiga kategori rille, yaitu sinus, arkuata dan linier. Dengan menelusuri rille, pada ujungnya kita akan mendapatkan sebuah celah vulkanis tua. Rille di Vallis Schroteri yang berada di plato Aristachus memang berujung di celah vulkanis tua, bukannya lenyap begitu saja.
Perdebatan kalau rille adalah saluran sungai, retakan ataupun aliran lava, sebenarnya ada sebelum misi Apollo. Klaim kalau itu adalah tanda terbelahnya bulan belum ada hingga Apollo mengambil potretnya dari dekat. Kenapa tiba-tiba muncul teori ini? kita akan membahasnya dalam langkah menemukan asumsi.
Sebuah rima linier di bulan
Foto yang diberikan teman saya, setelah diperiksa, ternyata berasal dari potret Apollo 10. Ini adalah potret rilles linier Rima Ariadaeus. Karena bentuknya yang linier, bagi orang awam tampak kalau ini berkas terbelahnya bulan. Tapi, silakan zoom out menggunakan Google Earth (ganti view menjadi Moon). Ini adalah sederetan screen shot yang saya lakukan pada lokasi tersebut. Tampakkah ia seperti bekas terbelahnya bulan?
Dasar Rima Ariadaeus
Rima Ariadaeus di lihat dari ketinggian 260 km (Credit : Google Earth)
Citra Rima Ariadaeus dari atas
Potret Rima Ariadaeus dari ketinggian 260 km (Credit : Google Earth)
Rima Ariadaeus dari ketinggian 1041 km
Rima Ariadaeus dari ketinggian 14167 km
Oh iya, pola persegi panjang terang seperti plaster di atas itu bukan bekas terbelahnya bulan loh. Itu citra terbaru satelit penjelajah bulan. Google Earth selalu meng update tampilannya dan karenanya tingkat jelas tidaknya beberapa lokasi tidak seragam.
Rima Ariadaeus panjangnya lebih dari 300 meter. Rima ini termasuk bagian yang relatif muda, karena hanya ada beberapa kawah yang menindihnya. Ujung timur dari Rima ini adalah kawah Ariadaeus, seperti yang anda lihat dalam foto.
Walau begitu, tampaknya tidak ada asosiasi antara rima Ariadaeus dengan vulkanisme. Para ilmuan berpendapat kalau ia adalah bentuk ekstrim dari evolusi rille dengan sedikit sekali pengaruh vulkanisme. Gradasi ini adalah rille linier (seperti Ariadaeus) yang sangat sedikit dipengaruhi vulkanisme, rille melengkung yang sedang dipengaruhi, dan rille sinus (seperti Schroteri) yang paling dipengaruhi oleh vulkanisme.
Lalu apa penyebab adanya rima Ariadaeus kalau bukan vulkanisme? Apakah karena bulan pernah terbelah? Tampaknya tidak sama sekali. Formasi seperti Ariadaeus ada di bumi. Namanya Graben. Graben terbentuk saat sebuah bagian kerak bumi (atau bulan) runtuh antara dua garis paralel. Keberadaan graben merupakan indikasi adanya gaya tensi dan peregangan kerak, bukannya kalau bumi atau bulan pernah terbelah. Kita punya banyak graben terkenal di bumi. Bahkan, daratan terdalam di benua Afrika, yang disebut depresi Afar, adalah sebuah graben. Lembah retakan di Afrika Tengah adalah sederetan graben, yang memuat negara Kenya, Uganda, Burundi, Rwanda dan Tanzania hingga ke Malawi. Apakah ini bukti bumi pernah terbelah? Dimana bagian lain belahannya?
Yup. Untuk memeriksa ini, silakan lihat bagian belakang Ariadaeus, menembus bola bulan.
Bagian belakang Rima Ariadaeus menembus bulan
Bagian belakang rima ariadaeus dari ketinggian 864 km
Lihat gambar di atas. Itu bagian belakang rima Ariadaeus. Apakah ada rille disana? Yang ada malah kawah besar.
Rille di dekat kompleks Mons Rumker
  1. Kredibilitas sumber bukti
Saya sudah memberikan sumber saya dalam referensi di bawah. Dari bidang geologi, mineralogi, dan geokimia. Sekarang bagaimana dengan teman saya? Ia hanya mengutip klaim yang dibawa tahun 1970 dengan referensi yang tidak jelas dan sudah digugurkan. Ia juga merujuk pada seseorang bernama Prof. Dr. Zaghlul Al-Najar, seorang profesor geologi dari Inggris. Di dunia ilmiah, sangat wajar bila seorang akademisi seperti profesor, apalagi dari negara maju, memiliki profil online langsung dari universitasnya, dan seringkali disertai bahan kuliah atau artikel hasil penelitian. Mari kita cari dengan bantuan google.
Menariknya sang profesor memiliki situs tersendiri dan beberapa video di youtube yang menunjukkan topik yang sama, bulan terbelah. Siapa sang profesor ini? beliau adalah profesor geologi, kepala Komite Ilmiah dalam keagungan Quran dan kemurnian Sunnah (Committee on Scientific Nations in the Glorious Qur’an & Purity Sunnah), Konsul Agung Masalah Islam, Kairo, Mesir.
Sekarang, sebagai profesor tentunya ia punya hasil penelitian ilmiah yang dapat diperiksa. Tapi mengejutkannya, situs beliau elnaggarzr.com, sama sekali tidak memiliki referensi ilmiah, daftar publikasi ilmiah ataupun tulisan yang bisa dikatakan ilmiah dengan mengutip sumber-sumber ilmiah, teori ilmiah, metodologi dan penyajian data secara ilmiah. Situsnya justru memuat beberapa artikel pengulangan yang sudah pernah ada sebelumnya tanpa revisi baru dan juga ada bagian penjualan DVD online yang menampilkan foto beliau. Lulusan mana, apa judul disertasinya, sama sekali tidak ada.
Penelusuran lebih jauh justru menemukannya CV nya pada sumber sekunder yang bisa anda tebak, juga satu pandangan dengan sang profesor. http://www.irf.net/index.php?option=com_content&view=article&id=218%3Abio-data-zaghloul-al-najjar+&catid=57%3Aorators-international&Itemid=174 yang mengatakan kalau ia meraih doktor geologi dari University of Wales. Beliau memiliki 25 penghargaan ilmiah, 16 diantaranya dari dunia Arab, India dan komunitas muslim di Selandia Baru. Sisanya adalah penghargaan di bidang perminyakan semata, bukannya sains planeter seperti para profesor yang saya kutip di referensi. Dan dari sekian banyak penghargaan ini, delapan memiliki predikat X-fellow. Saya tidak tahu apa itu predikat x karena setelah melihat ke situs asosiasi terkait, tidak ada yang namanya x fellow. Mungkin yang dimaksud adalah bekas anggota. Pertanyaan lebih jauh mungkin adalah kenapa ia berstatus bekas anggota? Apakah bekas anggota termasuk sebuah penghargaan? Bagaimana seandainya anda dikeluarkan dari sekolah dan status anda bekas siswa di sekolah tersebut, dan ini menunjukkan sebuah penghargaan? Perlu diketahui kalau dalam masyarakat ilmiah, umumnya keanggotaan ditentukan oleh sumbangsih orang tersebut dalam keilmuan. Bila seorang anggota tidak memberikan sumbangan ilmiah apapun (artikel ilmiah, hasil dan laporan penelitian) maka keanggotaannya dapat dicabut. Sekarang anda bisa menduga kenapa status beliau bertanda X.
Saya tidak terkesan saat teori bulan terbelah hanya didukung bukti anekdot, tanpa bukti ilmiah sama sekali. Satu-satunya bukti yang saya dapatkan hanya sebuah foto dan cerita anekdotal. Klaim seperti ini tidak perlu dianggap serius bagi kalangan ilmiah. Jika klaim seperti ini dianggap serius, maka begitu juga astrologi, ramalan garis tangan, segitiga bermuda, penampakan big foot atau penculikan UFO.
Sebuah klaim luar biasa, yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan kita sebelumnya, membutuhkan bukti yang luar biasa pula. Ia harus disertai dengan bukti yang bahkan tidak dapat dijelaskan dengan teori alternatif. Dan dalam kasus kita, kita punya banyak teori alternatif mengenai rilles.
Peta kontur rilles di permukaan bulan
  1. Tapi bagaimana seandainya benar kalau bulan pernah terbelah?
Yup. Walaupun tanpa bukti, hal tersebut bukanlah bukti ketiadaan. Seorang anak kecilpun saat bicara kalau 1+1= 2 harus diterima sebagai kebenaran, walaupun kita jauh lebih pintar (tapi percaya kalau 1 + 1 = 3). Jadi mari kita periksa, bagaimana seandainya benar kalau bulan pernah terbelah.
Pertama yang paling tidak masuk akal adalah : Bagaimana bulan yang terbelah bisa menyatu lagi? Tidak ada bukti apapun dalam benda langit apapun di alam semesta kalau ada benda astronomis yang berderai mampu menyatu kembali.
Kedua, bagaimana mungkin bulan terbelah tanpa efek sama sekali yang tercatat sejarah? Gravitasi bulan seperenam kali bumi, dan ini bukan massa yang kecil.
Lagi pula banyak orang seperti sang profesor mengatakan kalau bumi ini sesuatu yang sangat istimewa. Luar biasa hebatnya dengan keseimbangan dahsyat, salah satunya keberadaan bulan. Entah mengapa kalau bulan terbelah, keseimbangan tersebut tidak terganggu sama sekali.
Yang jelas diketahui umum adalah peran bulan sebagai pelindung bumi. Saat ada benda cukup besar mendekati bumi, seperti asteroid atau komet, bulan kadang menariknya terlebih dahulu dan mengorbankan diri untuk mendapatkan hantaman tersebut. Itu mengapa wajah bulan begitu penuh dengan kawah tumbukan. Beberapa memang ada yang meleset dari perisai bulan. Meteor besar di zaman dinosaurus misalnya, memusnahkan habis 98% spesies yang ada di bumi. Bagaimana seandainya kalau bulan sendiri yang terbelah? Bukan hanya gravitasi belahan bulan tidak mampu menarik asteroid yang berusaha menerjang bumi, potongan bulan sendiri lah yang akan menerjang bumi.
Mengejutkannya, ini tak pernah tercatat dalam sejarah. Tidak ada peristiwa runtuhnya bulan selain yang diketahui orang Arab. Apakah hanya dari Arab saja bulan terlihat terbelah?
Jika bulan terbelah. Akan ada catatan geologi yang sangat jelas. Entah itu deposit batuan bulan di bumi akibat meteor dari pecahan bulan, entah itu peristiwa runtuhnya ekosistem akibat berkurangnya efek pasang surut di lautan yang terekam dalam kelimpahan fauna dan flora pesisir pantai, entah itu pergeseran orbit bumi beberapa km jauhnya yang kemudian berpengaruh pada perubahan musim dan panjang hari di bumi. Tapi hebatnya, sang profesor geologi ini tidak mengajukan bukti adanya hal ini. Dia hanya mengatakan “Lihat foto ini!” Kemana ilmu geologinya?
Orang yang paham sains tentunya setuju kalau peristiwa besar seperti terbelahnya bulan akan sangat berpengaruh bagi kehidupan di bumi. Kita tahu kalau bulan paling tidak berpengaruh dalam beberapa hal yang vital bagi kita. Paling tidak, kalender akan berubah.
Sang profesor geologi seharusnya paham mengenai efek dari hal ini. Saat bulan terbelah, sebagian dari massanya akan tertarik gravitasi bumi dan cukup kuat untuk menyebabkan gempa bumi dan menghancurkan negara yang ditimpanya. Bila ia menghantam air, akan ada tsunami dan kehancuran dalam kehidupan kita lebih parah lagi. Gunung berapi (ini masalah geologi) akan meletus karena perutnya ditumbuk getaran runtuhan bulan. Akibatnya awan piroklastik dan lumpur panas mengalir ke kota-kota sekitarnya. Awan akan menutupi sinar matahari dan mendinginkan bumi beberapa derajat. Dalam beberapa tahun, walaupun bulan sudah disatukan entah bagaimana, bumi sudah kehilangan keseimbangan rotasi relatifnya dan mulai menghabisi manusia yang tersisa dengan gejolak cuaca.
Bahkan seandainya sisa pembelahan bulan tersebut tidak ada yang cukup mampu menerobos atmosfer bumi, partikelnya yang kecil akan menaburi atmosfer bumi dan menutupi matahari. Tanaman akan segera mati dan tak berapa lama kemudian rantai makanan di atasnya, termasuk kita, akan mati kelaparan.
Mungkin saja, dengan teknologi sekarang, kita akan dapat bertahan hidup. Tapi dengan teknologi masa lalu (karena peristiwa ini terjadi di masa lalu, sekitar 1500 tahun lalu)? Saya sangat tidak yakin.
Bumi pasca jatuhnya meteor dari bulan
  1. Membuat induksi-deduksi
Jika peristiwa terbelahnya bulan adalah proses ajaib, dan peristiwa menyatunya bulan adalah proses ajaib, kenapa pula sang profesor butuh penjelasan ilmiah saat ia bicara bukti terjadinya pembelahan bulan. Kenapa tidak biarkan saja seluruh masalah ini dalam ruang berjudul “keajaiban”. Tampaknya seandainya nanti ada satu dua indikasi saja yang tidak dapat dijelaskan sains, sang profesor langsung melangkah kedepan dan mengatakan ini bukti ilmiah dari “keajaiban” nya.
  1. Membuat dan menilai kesimpulan
Berdasarkan fakta ilmiah yang ada dan semuanya mendukung kalau bulan tidak pernah terbelah, maka bagi orang yang benar-benar berpikir ilmiah, ia akan menerima kalau bulan tidak pernah terbelah.
  1. Menemukan definisi
Mungkinkah apa yang dimaksud “bulan terbelah” oleh sang profesor tersebut berbeda dengan definisi terbelah secara umumnya? Lalu apa definisinya? Jangan-jangan karena definisi “membelah bulan” adalah istilah psikologis dari delusi kalau bulan terbelah. Atau hal ini semata pembenaran saja.
  1. Menemukan asumsi
Asumsi dari profesor ini sangat jelas. Beliau berasumsi kalau pengetahuan masa lalu itu lebih baik dari masa kini. Dia percaya kalau cerita yang didapatkannya dari orang tuanya, keluarganya, atau siapapun yang ia percaya secara kharismatik, adalah benar. Ia hanya percaya, tidak perlu bukti. Sekarang yang harus ia cari adalah pembenaran agar ia semakin yakin. Ia sebenarnya ragu jika tidak ada dukungan dari sains, karenanya ia mencari sedikit cahaya dalam sains. Dan sedikit cahaya, seperti foto rilles di bulan, sudah cukup baginya untuk merasa tenang kalau keyakinannya benar. Ini cara yang salah untuk memeriksa keyakinan. Untuk memeriksa keyakinan, kita harus langsung pada keyakinan tersebut, bukan memberi asumsi kalau keyakinan tersebut benar, kemudian mencoba meyakinkan diri kita kalau itu memang benar.
  1. Alternatif ketiga
Sesungguhnya kita sudah punya banyak alternatif teori selain semata teori bumi terbelah yang non ilmiah. Benar kalau sains belum mampu menjelaskan seratus persen apa saja yang pernah terjadi di bulan. Tapi apakah jumlah pengetahuan yang kita miliki sekarang jauh lebih sedikit daripada pengetahuan yang kita miliki di masa lalu, sedemikian hingga cukup foto semata, mampu membuat teorinya sejajar dengan alternatif teori lain yang penuh dukungan ilmiah, seperti teori kalau rilles adalah bekas aliran sungai, kalau rilles adalah retakan permukaan bulan, atau kalau rilles adalah bekas aliran lava. Kita punya rilles di bulan, tapi kita punya rilles juga di bumi dan planet lainnya di tata surya. Ada pola serupa di Venus, di Mars, di Phobos (bulannya Mars), dan di Ariel (bulannya Uranus). Apakah ini berarti kalau keempat benda langit ini juga pernah terbelah?
Rilles di permukaan Phobos, satelit Mars
Bekas aliran sungai purba di Titan
Terra Cimmeria di Mars
Ishtar Terra di Venus
Rilles di Ariel, satelit Uranus
  1. Menetapkan posisis
Sudah jelas posisi saya. Bila anda cukup teliti membaca di atas. Bulan pernah terbelah hanyalah khayalan, tidak lebih.
Referensi
Burns J., Matthews M., eds. 1986. Satellites. Tucson : University of Arizona Press.
Condie K. 1989. Plate Tectonics and Crustal Evolution. New York : Pergamon
Head, J.W., Wilson, L., Anderson, K.A., Lin, R.P. 1997. Lunar linear rilles, models of dike emplacement and associated magnetization features. Conference Paper, 28th Annual Lunar and Planetary Science Conference, p. 541.
Heiken, G.H., Vaniman, D.T., French, B.M. et al. 1991. The Lunar Sourcebook: A User’s Guide to the Moon, New York : Cambridge University Press
Rothery D. 1992. Satellites of the Outer Planets. Oxford : Clarendon Press.
Spudis, P. D. 2004. Moon. World Book Online Reference Center. World Book, Inc.
Strain, P.L., El-Baz, F. 1976. Topography of sinous rilles in the Harbinger Mountains region of the moon.Earth, Moon and Planets Journal. Vol. 16, No. 2/ March, 1977.
Taylor, G.J. 1998. Origin of the Earth and Moon. Planetary Science Research Discoveries.
Wieczorek, M., et al. 2006. The constitution and structure of the lunar interior. Reviews in Mineralogy and Geochemistry 60: 221–364

Sains, Agama dan Stephen Hawking

Baru-baru saja ada berita kalau Stephen Hawking, salah seorang fisikawan besar, mengatakan kalau fisika modern telah mencapai sebuah titik dimana kita tidak perlu lagi adanya Tuhan untuk memahami alam semesta sekitar kita.
Seperti kata Paijo, kalau kita tidak perlu lagi memakai radio panggil untuk komunikasi, bukan berarti radio panggil itu tidak ada. Tapi beberapa orang religius merasa hal itu berarti kalau itu berarti pernyataan kalau Tuhan tidak ada. Sedemikian hingga mereka memberikan komentar-komentar  memprotes.
FaktaIlmiah.com juga tergelitik untuk membahasnya. So inilah bahasan kami berdasarkan transkrip hasil debat yang bisa anda akses disini:
Stephen Hawking
Pertama yang harus diperhatikan disini adalah, siapa sih Tuhan? Tanpa jelas apa itu Tuhan, maka kita membicarakan sesuatu yang bisa saja berbeda. Sebagai contoh, Paijo mengatakan kalau kita ia tinggal di Bandung. Temannya, Poniran,  memprotes karena ia tidak tinggal di Bandung. Tapi jelas Paijo benar, karena yang dimaksud Bandung oleh Paijo adalah rumah kapal di sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Di sana rumah kapal disebut Bandung. Poniran juga benar, karena apa yang ia maksud adalah kota Bandung, ibu kota Jawa Barat. Tapi keduanya bertengkar karena semata berbeda pengertian dari kata Bandung.
Begitu juga, Tuhan yang dibicarakan oleh Hawking berbeda dengan Tuhan yang dibicarakan oleh pemuka agama Islam, kristen, yahudi, dsb. Bagi Hawking, ia menyindir Tuhan yang dipakai sebagai penjealasan atas fenomena alam. Baginya Tuhan hanyalah sebuah alat penjelasan sementara. Anda tidak tahu petir, katakan itu amarah Tuhan. Anda tidak tahu tsunami, katakan itu cobaan Tuhan. Tuhan disini adalah pengisi kekosongan sementara. Apa yang disebut orang sebagai God of the Gap. Dan pernyataan Hawking adalah bahwa fisika sudah cukup maju sehingga Tuhan tidak muat lagi untuk diselipkan dalam bolongan-bolongan dalam kotak fenomena alam yang belum terjawab.
Di sisi lain, para pemuka agama, memiliki perbedaan konsep mengenai Tuhan. Agama kristen, jelas punya Tuhan yang berbeda dengan Agama Islam. Belum lagi Agama Yahudi dan agama lainnya yang memiliki Tuhannya sendiri-sendiri. Bagi mereka, Tuhan bukanlah alat, tapi tuhan adalah udara. Syarat utama untuk hidup, syarat untuk bernapas.
Bila anda belum mengerti perbedaan antara Tuhan yang dimaksud Hawking dengan Tuhan yang dimaksud para ulama, saya bisa menawarkan analogi disket dan Komputer. Tuhan bagi Hawking adalah disket. Buat apa disket lagi sekarang kalau kita sudah punya flash disk atau hard disk eksternal atau CD Writer yang kapasitasnya jauh lebih hebat. Lagian disket sering terjangkiti dengan virus. Sementara bagi ulama, Tuhan adalah komputer. Tanpa komputer, orang tidak akan terpikir menciptakan disket, flash disk atau hardisk eksternal.
Tapi ada kesamaan antara disket dan komputer. Keduanya sama-sama alat elektronik. Sama halnya dengan Tuhannya Hawking dan Tuhannya orang beragama, sama-sama dipandang sebagai pencipta Alam Semesta.
Richard Dawkins
Sekarang, bayangkan di atmosfer kita ada sebuah debu berwarna merah. Ada tak terhitung debu di atmosfer kita. Sekarang bila kita tidak menemukan debu demikian, apakah itu berarti debu tersebut tidak ada? Bisa saja kita kurang teliti mencarinya, bisa saja kita hanya memakai sampel, bukannya populasi, untuk membuat kesimpulan tersebut.  Tapi bila memang seseorang entah bagaimana berhasil menyapu bersih semua debu di atmosfer dan mengumpulkannya, melihatnya satu-satu dan tidak menemukan debu berwarna merah. Ini adalah bukti nyata kalau debu tersebut tidak ada.
Ini kembali ke pernyataan di awal paragraf : Bayangkan ada debu berwarna merah di atmosfer. Ini kontradiktif dengan kalimat terakhir yang mengatakan debu tersebut tidak ada. Bagi ilmuan, kalimat pertama di atas adalah sebuah hipotesis. Sebuah dugaan semata dan bisa dihapus oleh kalimat terakhir. Bagi orang religius, kalimat pertama adalah fakta. Kalimat terakhir tidak dapat diterima karena kontradiktif dengan kalimat pertama. Ini perbedaan antara agama dan Sains.
Sekarang sains sedang berusaha menyapu bersih semua debu di atmosfer. Sains memiliki sebuah tujuan, memahami dunia kita. Di bidang fisika, sebagai ilmu yang mempelajari realitas, maka ini berarti menemukan sebuah teori gabungan. Sebuah teori puncak. Sebuah sapu bersih terhadap debu di atmosfer analogis kita. Bila sains menemukan teori puncak ini apakah agama akan menerima seandainya sains membuktikan tuhan tidak ada? Ataukah agama akan terus hidup dalam penafsiran celah-celah kecil sekecil virus dalam teori segalanya?
Agama selama ini berusaha mendapatkan dukungan sains. Tentang terbelahnya laut merah, lapisan bumi, lapisan atmosfer, embriologi manusia, terbelahnya bulan, dsb. Walaupun telah dibantah oleh sains kalau itu salah. Tetap saja tafsiran-tafsiran baru bermunculan. Di sisi lain, sains masih banyak punya misteri untuk dipecahkan. Dan disinilah agama menyusup. Bisakah sains meramalkan kematian? Bisakah sains menjelaskan tentang ini, tentang itu. Celah ini jelas semakin lama semakin sempit.
Dua milenium lalu sains tidak mampu menjelaskan kenapa seseorang bisa sakit, sekarang berbagai jenis anti virus serta segala jenis antibiotik mencegah kita terkena infeksi kuman. Dua milenium lalu, agama menawarkan penjelasannya. Orang sakit karena kutukan, karena dosa, karena durhaka, karena cobaan tuhan, dsb. Bahkan sekarang masih ada orang yang mengatakan kalau gempa disebabkan dosa.
Demikianlah, agama seperti orang yang tidak punya harapan lagi, dan mengambil remah-remah dari sains yang semakin gemuk. Mereka mengambil sedikit ruangan kosong di halaman istana sains yang megah. Saat sang tuan rumah keluar, penghuni halaman istana ini menunjuk mengatakan kalau, hei lihat bajunya itu buatan kakek dari kakek ku dari kakekku, atau hei, gorden istananya itu buatan sepupu jauh saya.

Apakah Waktu Hanya Ilusi?


Oleh : Craig Callender, Profesor Filsafat Universitas California di San Diego
Saat kamu membaca kalimat ini, kamu mungkin berpikir kalau saat ini – sekarang – inilah yang terjadi. Saat ini terasa spesial. Seberapapun kamu dapat mengingat masa lalu atau mengantisipasi masa depan, kamu hidup di masa kini.
Tentu saja, saat anda membaca kalimat di atas tadi tidak lagi terjadi. Sekarang kalimat ini yang anda baca. Dengan kata lain, terasa kalau waktu mengalir, dalam artian kalau masa kini terus menerus memperbarui dirinya.
Kita memiliki intuisi mendalam kalau masa depan terbuka hingga ia menjadi masa kini dan bahwa masa lalu tetap. Saat waktu mengalir, struktur masa lalu yang tetap, masa sekarang yang terjadi dan masa depan yang terbuka dibawa maju dalam waktu. Struktur ini terbangun kedalam bahasa kita, pikiran kita dan perilaku kita. Bagaimana kita menjalani hidup ini bergantung padanya.
Walaupun cara berpikir secara ini alami, kamu tidak akan menemukannya tercermin dalam sains. Persamaan fisika tidak memberitahukan anda kalau peristiwa terjadi sekarang – mereka seperti peta tanpa simbol “disini posisimu”. Saat sekarang tidak ada di dalamnya, dan karenanya tidak pula ada aliran waktu. Selain itu, teori relativitas Albert Einstein menunjukkan bukan hanya kalau tidak ada masa kini yang tunggal dan spesial, namun juga kalau semua saat sama nyatanya. Pada dasarnya, masa depan tidak lebih terbuka daripada masa lalu.
Celah antara pemahaman sains mengenai waktu dan pemahaman kita sehari-hari mengenai waktu telah memusingkan para pemikir sepanjang sejarah. Sudah tersebar luas kalau para fisikawan secara bertahap membuang waktu pada sebagian besar sifat yang biasanya kita pahami membutuhkan waktu. Sekarang sobekan antara waktu fisika dan waktu pengalaman mencapai kesimpulan logisnya, dimana banyak ilmuan dalam fisika teoritis mulai percaya kalau pada dasarnya waktu tidak ada.
Gagasan realitas tanpa waktu pada dasarnya begitu mengejutkan sehingga sulit melihatnya bagaimana mungkin bisa selaras. Segala yang kita lakukan, kita lakukan dalam waktu. Dunia adalah sederetan peristiwa yang terikat dalam waktu. Segala
Anda dapat melihat kalau rambut saya mulai putih, kalau benda bergerak, dan seterusnya. Kita melihat perubahan, dan perubahan adalah variasi dari sifat dengan melihat pada waktu. Tanpa waktu, dunia akan sepenuhnya diam. Sebuah teori tanpa waktu menghadapi tantangan dalam menjelaskan bagaimana kita melihat perubahan bila dunia tidak sesungguhnya berubah.
Penelitian terbaru berusaha melakukan hal ini. Walaupun waktu mungkin tidak ada pada tingkatan dasar, ia mungkin ada pada tingkatan tinggi – seperti halnya meja yang terasa padat walaupun sesungguhnya partikel-partikel penyusunnya sebagian besar tersusun dari ruang kosong. Kepadatan adalah sifat kolektif yang muncul dari partikel. Waktu juga demikian, bisa jadi merupakan sifat yang muncul entah dari bahan baku apa yang menyusun dunia ini.
Konsep waktu yang muncul ini memiliki potensi sama revolusionernya dengan perkembangan teori relativitas dan mekanika kuantum satu abad lalu. Einstein mengatakan kalau langkah maju utama dalam mengembangkan relativitas adalah konsep ulangnya pada pengertian waktu. Saat ahli fisika memburu mimpinya untuk menyatukan relativitas dengan mekanika kuantum, kembali mereka merasa kalau waktu adalah sentralnya. Tahun 2008 Lembaga Pertanyaan Landasan (FQXi) mensponsori sebuah kontes karya ilmiah mengenai sifat waktu, dan melihat siapa ahli fisika modern yang mempertimbangkannya dengan serius. Banyak percaya kalau sebuah teori penyatuan akan menunjukkan dunia tanpa waktu. Satu hal yang mereka sepakati adalah bahwa tanpa berpikir mendalam mengenai waktu, kemajuan dalam penyatuan akan mustahil.
Lahir dan Runtuhnya Waktu
Pemahaman akal sehat kita mengenai waktu telah mengalami sederetan perubahan seiring masa. Waktu memiliki banyak hal untuk dilakukan dalam fisika, namun saat fisika maju, tugas ini dipreteli satu demi satu.
Pada awalnya mungkin tidak jelas, namun hukum gerak Isaac Newton memerlukan waktu dalam banyak tampilannya. Semua pengamat pada dasarnya setuju mengenai urutan peristiwa apa yang terjadi. Tidak peduli kapan atau dimana sebuah peristiwa terjadi, fisika klasik beranggapan kalau anda dapat secara objektif mengatakan bahwa peristiwa ini terjadi sebelumnya, sesudahnya atau serentak dengan peristiwa lainnya di alam semesta. Waktu dengan demikian memberikan urutan lengkap semua peristiwa di alam semesta. Simultanitas adalah sebuah fakta mutlak yang bebas pengamat. Lebih jauh, waktu pastilah sinambung sehingga kita dapat mendefinisikan kecepatan dan percepatan.
Waktu klasik harus pula memiliki istilah durasi – apa yang ahli fisika sebut sebagai metrik – sehingga kita dapat mengetahui berapa jarak waktu sebuah peristiwa dengan lainnya. Dengan mengatakan kalau pelari olimpiade Usain Bolt dapat berlari dengan kecepatan 43 km per jam, kita perlu memiliki ukuran seberapa panjang satu jam itu. Seperti urutan peristiwa, durasi bersifat bebas pengamat. Jika Ani dan Budi meninggalkan sekolah jam 3 sore, pulang lewat jalan berbeda, dan tiba dirumah jam 6 petang, jumlah waktu yang berlalu bagi Ani dan Budi adalah sama.
Pada dasarnya, Newton mengajukan kalau dunia memiliki jam utama. Jam ini secara unik dan objektif memahat dunia dalam saat-saat waktu. Fisika Newton mendengarkan detakan jam ini saja. Newton juga merasa kalau waktu mengalir dan kalau aliran ini memberi kita panah untuk menentukan ke arah mana kita di masa depan, walau tampilan ekstra ini tidak terlalu dituntut oleh hukumnya.
Waktu Newton terdengar tua bagi kita sekarang, namun sebuah pemikiran sesaat mengungkapkan betapa hebatnya ia. Tampilannya yang serbaneka – urutan, kesinambungan, durasi, simultanitas, aliran dan panah – masuk akal dan logis, namun semuanya menempel pada satu jam utama yang disebut “waktu” oleh Newton.
Rakitan tampilan ini begitu berhasil sehingga bertahan selama hampir dua abad. Lalu muncul serangan akhir abad ke 19 dan 20. Pertama adalah karya fisikawan Austria, Ludwig Boltzmann, yang berpendapat kalau, karena hukum Newton berlaku sama baik maju maupun mundur dalam waktu, waktu sendiri tidak punya arah. Lalu ia mengajukan kalau perbedaan antara masa lalu dan masa depan tidaklah intrinsik dalam waktu dari asimetri dalam bagaimana materi di alam semesta tersusun. Walau ahli fisika masih memperdebatkan detail proposal ini, Boltzmann dengan meyakinkan mencabut satu tampilan waktu Newton.
Einstein melakukan serangan selanjutnya dengan menyingkirkan gagasan simultanitas mutlak. Menurut teori relativitas khususnya, peristiwa apa yang terjadi pada waktu yang sama tergantung pada seberapa cepat kamu bergerak. Arena sejati peristiwa bukanlah waktu atau ruang, tapi kesatuannya: ruang-waktu. Dua pengamat bergerak dengan kecepatan berbeda akan tidak setuju kapan dan dimana sebuah peristiwa terjadi, namun mereka dapat setuju pada lokasinya di ruang waktu. Ruang dan waktu adalah konsep sekunder yang, seperti dikatakan matematikawan Hermann Minkowski, yang dikatakan profesor di universitas Einstein ini, “runtuh, terhapus oleh bayangan.”
Dan semuanya bertambah buruk tahun 1915 lewat teori relativitas umum Einstein, yang memperluas relativitas khusus pada situasi dimana gaya gravitasi bekerja. Gravitasi membengkokkan waktu, sehingga kalimat pertama disini mungkin berbeda artinya dengan kalimat kedua. Hanya pada kasus yang langka menjadi mungkin untuk menyelaraskan waktu dan tetap membuatnya selaras, bahkan walaupun secara prinsip.
Anda tidak dapat secara umum memikirkan dunia ini tidak berlipat, detik demi detik, menurut satu parameter waktu. Dalam situasi yang ekstrim, dunia mungkin tidak terpahat menjadi saat saat waktu sama sekali. Menjadi mustahil untuk mengatakan sebuah peristiwa terjadi sebelum atau sesudah yang lain.
Relativitas umum memuat banyak fungsi dengan kata “waktu” tertempel padanya : waktu koordinat, waktu wajar, waktu global. Bersama mereka melakukan banyak tugas waktu tunggal Einstein, namun secara individual tidak satupun yang pantas mendapatkan namanya. Baik fisika tidak mendengarkan jam ini, atau, bila ya, jam tersebut hanya berlaku pada jalan kecil alam semesta atau pada pengamat tertentu saja. Walaupun ahli fisika masa kini mengatakan kalau sebuah teori penyatuan akan menghilangkan waktu, argumen yang bagus dapat diajukan kalau waktu sudah lenyap tahun 1915 dan kalau kita hanya belum terlalu memahaminya saja.
Waktu sebagai Pencerita Besar
Apakah gunanya waktu? Anda mungkin tergoda membayangkan kalau perbedaan antara ruang dan waktu hampir lenyap dan kalau arena peristiwa sesungguhnya dalam alam semesta relativistik adalah balok empat dimensi raksasa. Relativitas muncul untuk meruangkan waktu : mengubahnya menjadi semata satu arah dalam balok tersebut. Ruang-waktu seperti potongan roti yang dapat anda iris dengan berbagai cara, dan menyebutnya “ruang” atau “waktu” hampir semau kita.
Namun bahkan dalam relativitas umum, waktu mempertahankan fungsi yang berbeda dan penting: yaitu, kalau membedakan secara lokal antara arah “serupa waktu” dan “serupa ruang”. Peristiwa yang berhubungan dengan serupa-waktu tidak berhubungan secara sebab akibat. Tidak ada benda atau sinyal dapat mencapai satu sama lainnya. Secara matematis, sebuah tanda negatif semata membedakan kedua arah, namun tanda negatif ini memiliki pengaruh yang besar.
Para pengamat tidak setuju mengenai urutan peristiwa mirip-ruang, namun mereka semua setuju pada urutan peristiwa mirip-waktu. Bila satu pengamat merasakan kalau sebuah peristiwa dapat menyebabkan peristiwa lainnya, semua pengamat juga dapat.
Dalam esai saya sendiri untuk kontes FQXi dua tahun lalu, Saya menjelahi apa makna tampilan waktu ini. Bayangkan mengiris ruang-waktu dari masa lalu ke masa depan; tiap irisan adalah totalitas ruang 3-D pada satu saat dalam waktu. Jumlah semua irisan peristiwa terkait serupa-ruang ini adalah ruang-waktu 4-D.
Sebaliknya, bayangkan melihat dunia dari samping dan mengirisnya. Dari sudut pandang ini, tiap irisan 3-D adalah amalgam peristiwa yang aneh yang terkait serupa-ruang (dalam hanya dua dimensi) dan serupa-waktu. Dua metode mengiris ini seperti mengiris sebuah roti baik secara vertikal ataupun horizontal.
Metode pertama umum dipahami ahli fisika, dan juga para penggemar film. Frame dari sebuah film mewakili irisan ruang-waktu: ia menunjukkan ruang pada saat-saat waktu yang berurutan. Seperti penggemar film yang serentak membayangkan plot dan meramalkan apa yang akan terjadi, ahli fisika dapat mengambil sebuah irisan ruang lengkap dan membangun apa yang akan terjadi di irisan ruang lainnya, hanya dengan menerapkan hukum fisika.
Metode pengirisan kedua tidak memiliki analogi yang sederhana. Ia berhubungan dengan memotong ruang-waktu bukan dari masa lalu ke masa depan, namun dari timur ke barat. Sebagai contoh irisan demikian mungkin adalah tembok utara rumah anda ditambah dengan apa yang akan terjadi pada tembok tersebut di masa depan. Dari irisan ini, anda menerapkan hukum fisika untuk membangun sisa rumah anda (dan alam semesta). Bila kedengarannya aneh, ini benar. Tidak segera jelas apakah hukum fisika memungkinkan ini. Namun seperti yang dikatakan matematikawan Walter Craig dari universitas McMaster dan filsuf Steven Weinstein dari universitas Waterloo telah tunjukkan, anda dapat, paling tidak, melakukannya dalam beberapa situasi sederhana.
Walaupun kedua metode mengiris mungkin dilakukan secara prinsip, keduanya sangat berbeda. Dalam irisan normal, masa lalu ke masa depan, data yang anda perlukan di irisan mudah didapatkan. Misalnya, anda mengukur kecepatan semua partikel. Kecepatan sebuah partikel di satu lokasi independen dari kecepatan partikel di tempat lain, membuatnya dapat diukur secara langsung,. Namun dalam metode kedua, sifat partikel tidaklah independen; ia terbentuk dalam cara yang sangat spesifik, atau irisan lain tidak akan cukup membangun yang lain. Anda harus melakukan pengukuran yang sangat sulit pada kelompok partikel untuk mengumpulkan data yang anda perlukan. Lebih parah lagi, hanya dalam kasus khusus, seperti yang ditemukan Craig dan Weinstein, pengukuran ini memungkinkan anda membangun ruang-waktu yang lengkap.
Secara sangat teliti, waktu adalah arah dalam ruang-waktu dimana prediksi yang baik mungkin dilakukan – arah dimana kita dapat mencerikana kisah yang paling informatif. Narasi alam semesta tidak membuka dalam ruang. Ia membuka dalam waktu